Saturday, February 15, 2014

Duka Cita Indonesia

Anis Sholeh Ba’asyin
Dari sisi manakah kita mesti memandang musibah beruntun yang menggempur kita? Apakah ini adzab, karena begitu lama kita mengabadikan kebutaan dan ketulian kultural, yang membuat kita sudah mirip kaum-kaum terdahulu yang sulit diselamatkan? Atau apakah ini hukuman, karena sekian lama kita telah hidup dalam ketololan sistemik, dalam kejahatan yang dengan bangga dan tak malu-malu terus kita reproduksi dan sebarkan; hingga kita perlu dihukum agar dosa-dosa kita bisa dibersihkan dan kita punya waktu untuk memikirkan pertaubatan? Atau apakah ini ujian, yang diberikan kepada kita karena derajat dunia-akhirat kita akan ditinggikan?

Hanya Dia yang tahu jawaban persisnya. Kita cuma bisa meraba-raba maknanya. Tapi yang pasti: rahmatNya selalu meliputi dan mendahului murkaNya. Dan murka adalah juga wajah kasihNya, meski berat bagi kita untuk menanggungnya.

Lebih jauh, benarkah kita harus membaca derita dan sakit sebagai ungkapan murka? Karena, kalau derita dan sakit hanya bisa dibaca sebagai ungkapan murka, sebagai ungkapan adzab; kenapa justru para Nabi dan Rasul yang paling banyak mengalaminya?

Para Nabi dan Rasul adalah pihak pertama yang paling menanggung duka-derita dan sakit, sehingga Nabi Muhammad SAW konon pernah bersabda: Di antara semua manusia, orang-orang beriman adalah yang paling besar ujiannya, di atasnya lagi adalah para wali, di atasnya lagi adalah para Nabi, di atasnya lagi adalah para Rasul, di atasnya lagi adalah Ulil-Azhmi (penghulu para Rasul : Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS dan Muhammad SAW); dan di atas semuanya aku sendiri yang paling besar cobaannya.

Jadi masalahnya adalah: standar apa yang kita pakai untuk mengukurnya ? Kalau ukuran kita adalah standar dunia benda; maka sakit, mati dan kehilangan harta adalah bencana. Tapi kalau ukurannya adalah yang ruhani dan ilahi, penilaian dan penyikapan yang akan dihasilkannya justru sebaliknya.

Bukankah apa yang selama ini kita sebut sebagai nikmat-adzab, hukuman-ujian, rahmat-istidraj hanyalah penamaan-penamaan subyektif pada obyek yang secara fisik dan sosial-budaya adalah yang sesuatu sama?

“Ini rahmat atau istidraj?” begitu suatu kali KH. Muslim Rifa’i Imampuro-Klaten, yang merasa begitu banyak menerima pemberianNya, bertanya kepada KH. Abdullah Salam-Kajen. “Itu tergantung dari bagaimana anda menafsirkannya!” jawab KH. Abdullah Salam.

Dan memang demikianlah adanya, segala hal pada akhirnya kembali pada: bagaimana kita menafsirkannya. Dan penafsiran kita pada dasarnya sekedar merefleksikan konstruksi pengetahuan yang selama ini membentuk kesadaran kita. Tak salah bila sang Rasul SAW bersabda: Aku adalah persangkaan hambaKu padaKu. Jadi yang harus dibereskan memang konstruksi pengetahuan kita.

Kalau perspektif ini yang kita pakai, bukankah kita bisa melihat apa yang selama ini kita sangka sebagai adzab sejatinya adalah nikmat, apa yang kita sangka sebagai musibah sejatinya adalah rahmat? Ini semua cuma proses penyempitan dan perluasan, qabdh dan basth, jallaliah (keagungan) dan jamaliahNya (kelembutan), yang telah didesain sedemikian rupa dan mau tak mau harus kita lalui untuk mendorong kita naik ke ‘ketinggian’ cakrawala ruhani.

Bukankah ini adalah dua kaki yang membuat kita bisa berjalan, dua sayap yang membuat kita bisa terbang? Bukankah ini dua jari ar-rahman, sang pengasih, yang sering disebut Rasul? Dua jari yang diantaranya hidup kita digulirkan dan diantar dari satu tahap ke tahap selanjutnya?

Perspektif ini membuat kita bisa sedikit memahami tafsir yang menyebut bahwa istilah bala’ sesungguhnya bermuara dari ungkapan al-Qur’an bala’ syahidna, ya kami bersaksi, yang merupakan jawaban kita di alam ruh sana atas pertanyaan Allah: Bukankah aku ini Rabbmu? Jadi apa yang dalam perspektif dunia kita baca sebagai bala’, pada hakikatnya adalah proses kesaksian, proses peng-iya-an, yang kita tunjukkan atas ketuhanan Tuhan.

Artinya kita bisa membaca bahwa semua ini sejatinya bukan wajah murkaNya, tapi wajah cinta dan kasihNya; meski kita harus membacanya dengan tergagap-gagap karena beratnya beban yang ditanggungkan. Meski kita harus membacanya dengan dada yang sesak dan mau meledak karena tekanan air mata kemanusiaan yang tak habis dialirkan. Tapi kemuliaan mana yang murah harganya?

Masih terngiang di telinga saya bagaimana KH. Abdullah Salam, di saat sakitnya yang parah, justru berulang kali berucap “Cuma nikmat, cuma nikmat! Semua nikmat, bagaimana bisa mensyukurinya?” Orang beriman tidak ‘hidup’ di dunia, karena itu tidak mengukur apa saja dari ukuran dunia. Jadi kalau kau mengukur bencana dengan ukuran dunia, jangan pernah sebut dirimu beriman!

No comments:

Post a Comment