Saturday, March 1, 2014

Membincangkan Puisi

Iswadi Pratama


Apakah puisi itu? Samakah ia dengan sajak?

Pertanyaan semacam ini bisa saja dianggap tak penting lagi karena hanya akan membawa kita pada sejumlah pendapat yang berlainan bahkan bertentangan. Keragaman ini salah satunya disebabkan oleh perkembangan atau perubahan wawasan estetika para penyair dari waktu ke waktu sehingga mempengaruhi pula konsep tentang puisi atau sajak. Namun, bila kita bersikap tak acuh saja, akan menjadi ganjalan atau hambatan dalam proses kita mempelajari puisi atau sajak—terutama bagi para guru bahasa dan sastra di sekolah ketika harus menjelaskannya kepada siswa.

Tidak menjadi soal seberapa banyak variasi defenisi yang diberikan para sarjana atau ahli sastra untuk menjelaskan puisi dan sajak, selama kita tidak memutlakkan satu defenisi atas defenisi yang lain. Kita bisa mengambil kesamaan-kesamaan atau ciri umum yang terdapat dalam seluruh defenisi itu dalam menjelaskan puisi atau sajak.

Umumnya para guru atau siswa mengenal batasan puisi adalah: suatu karya (sastra/fiksi) yang menggunakan bahasa yang indah, terikat dengan baris, bait, dan irama dan mengacu pada makna tertentu. Namun bila defenisi ini dihadapkan pada sajak-sajak karya Sutardzi Coulzoum Bachri yang bentuknya sangat atraktif dan acap nir-makna, atau pada sajak Sapardi Djoko Damono yang susunan baris dan baitnya mirip seperti prosa (cerpen), maka defenisi di atas tidak bisa dikenakan lagi. 

Masalah serupa juga akan kita dapati pada defenisi yang lain. Namun, paling tidak kita bisa menyimpulkan—untuk sekarang ini—bahwa puisi merupakan pernyataan-pernyataan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direka-kan. Perasaan dan pikiran Penyair yang masih abstrak dikongretkan. Untuk mengongkretkan peristiwa-peristiwa yang telah direkam di dalam pikiran dan perasaan penyair, puisi merupakan salah satu sarananya. Pengongkretan intuisi melalui kata-kata itu dilakukan dengan prinsip seefisien dan seefketif mungkin. (Hasanudin WS, 2002)

Seorang sastrawan Rusia, Boris Pasternak memberikan batasan tentang puisi dalam sajaknya:

Batasan Sajak

Sajak adalah siul melengking curam
Sajak adalah gemertak kerucut salju beku
Sajak adalah daun-daun menges sepanjang malam
Sajak adalah dua ekor burung malam menyanyikan duel
Sajak adalah manis kacang kapri mencekik mati
Sajak adalah air mata dunia di atas bahu

Menurut Wellek,dikutip oleh Pradopo di dalam Poetika, ada satu kesamaan dalam seluruh jenis karya sastra yaitu unsur “ke-puitisan”. Unsur ini tidak Cuma ada di dalam sajak atau puisi, melainkan juga di dalam cerpen dan novel, bahkan di dalam lirik lagu. Berdasarkan hal itu, saya menyimpulkan bahwa, “kepuitisan” yang dimaksud adalah suatu getaran di dalam batin manusia yang mempengaruhi perasaan dan inteleknya yang dipicu oleh suatu rangsangan tertentu.

Rangsangan itu bisa muncul dari sebuah peristiwa atau pengalaman riil, bersifat visual atau inderawi, pergulatan pikiran (ide), imajinasi, bahkan bisa juga dipicu dari perbincangan sehari-hari, dan lain-lain. “Getaran” itu pada mulanya bersifat abstrak dan seringkali berupa “keharuan” akan sesuatu hal. Lalu seorang penulis menjelmakan “keharuan” itu melalui kata-kata (bahasa).

Bila rangsangan yang memicu keharuan atau getaran atau kepuitisan itu lebih didominasi oleh intelektual (pergulatan pikiran), maka karya yang akan lahir juga cenderung mengajak pembaca untuk menjelajah wilayah pemikiran, bila rangsangan lebih bersifat pengalaman visual maka karya yang akan lahir akan memiliki nuansa visual yang kuat, bila rangsangan lebih besar muncul dari aspek emosi maka karya yang lahir cenderung mengajak pembaca untuk merasakan lapisan-lapisan perasaan tertentu. Namun, di dalam karya sastra (yang bagus) antara aspek kognitif, perasaan, atau visual tersebut sebenarnya saling jalin menjalin satu sama lain. Hanya kadar masing-masing yang berbeda.

Lalu, jika Si Penulis memilih bentuk prosa, maka “kepuitisan” itu akan diuraikan dan dijelaskan. Bila pilihan bentuknya adalah sajak, ia akan dipadatkan dan memusat. Namun bisa saja ia merupakan gabungan dari keduanya—baik dalam bentuknya sebagai sajak maupun prosa. Di dalam bentuk sajak, ia akan melahirkan sajak yang seraya bertutur (menguraikan) ia merahasiakan sesuatu dan acap dengan tetap menjaga unsur persajakan; rima, irama, metrum dll.

Di dalam bentuk prosa, ia akan melahirkan bentuk yang menguraikan atau menjelaskan sesuatu seraya mengeksplorasi bahasa baku melalui ungkapan-ungkapan yang segar. (Iswadi Pratama, 2014).

Adanya unsur “kepuitisan”di dalam karya sastra, khususnya sajak atau puisi, Samuel Tylor Coleridge, seorang tokoh aliran Romantik mengatakan, sajak adalah sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains, yang tujuannya memberikan kesenangan langsung (immediate pleasure). Menurutnya, ilmu bukanlah tidak memberikan kenikmatan, hanya saja kenikmatan ilmu diperoleh melalui penelitian dan tidak bersifat langsung.

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa puisi tidak sama dengan sajak, tetapi idenntik. Sehingga sajak diperbandingkan dengan prosa bukan dengan puisi. Prosa bersifat menguraikan dan menjelaskan, sedang sajak bersifat memusatkan dan memadatkan (konsentrasi dan intens). Di dalam keduanya (sajak dan prosa) dimungkinkan kepuitisan (terdapat puisi), sehingga dapat dijumpai prosa yang puitis serta sajak yang prosais. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap sajak adalah puisi, tetapi tidak hanya sajak yang mengandung puisi.

No comments:

Post a Comment