SENANDIKA
Willy Pramudya
Aku bukan jenis "binatang" antiasing. Kalau suatu waktu aku menyaksikanmu tampil di panggung lalu kedua pasang mata-telingaku menangkap betapa kamu berusaha terlihat fasih berbahasa asing di depan umum, maka aku menjamin akan menghargaimu. Apalagi kau memang sebenar fasih. Tapi andai pelantang yang kau pegang jatuh menimpa kakimu, lalu secara spontan kau berteriak "Aduh!" maka aku juga menjamin bahwa kamu tak bisa berpura-pura tentang siapa sebenar dirimu. Apalagi secara spontan pula kata-kata "mak! atau 'biyung!'" menyusul di belakngnya.
Itu juga berlaku ketika kakimu terantuk batu. Pun kata-kata lain yang spontan keluar ketika hatimu terantuk apa saja dan kamu tak mampu mamagari amarahmu. Apalagi dengan spontan pula, satu atau lebih nama keluarga saudara-saudara kita yang tersia-sia di Kebun Binatang bermunculan deras melalui kerongkonganmu.
Aku menjaminmu bahwa lebih baik kita mengaku siapa diri kita, komunitas kita dan bangsa kita sebenar ketika kita belum cukup mampu bermimpi dengan bahasa asing. Artinya kamu punya kewajiban primordial untuk selalu kembali ke haribaan bahasa ibu, rajin merawat dan pandai merayakan semua kekayaan yang terbungkus di sana tanpa harus menjadi anggota ordo jenis chauvinistic.
Bahasa ibu, ujar orang-orang pintar, adalah bahasa pertama yang kau pelajari sehingga bersama orang lain yang sebahasa denganmu, kau disebut penutur asli. Lazimnya ketika masih kanak-kanak, kita semua belajar dasar-dasar bahasa pertama dari keluarga kita.
Orang-orang pintar itu, seperti dicatat Paman Wikipedia mengatakan, keterampilan menguasai bahasa asli akan menjadi perkara penting, terutama bagi anak-anak untuk mengarungi hidup. Sebab bahasa ibu dianggap sebagai dasar cara berpikir. Kekurangterampilan menguasainya akan membuat proses belajar apa pun termasuk bahasa asing menjadi sulit. Karena itu bahasa asli memiliki peran pusat dalam hidup.
Pada 17 November 1999 lalu Unesco menetapkan hari ini, 21 Februari, sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Penetapan ini merupakan pengakuan internasional atas Hari Gerakan Bahasa yang dirayakan di Banglades. Di Banglades Hari Gerakan Bahasa juga disebut Hari Revolusi Bahasa atau Hari Martir Bahasa. Hari nasional untuk mengenang demonstrasi dan pengorbanan bagi perlindungan bahasa Bengali sebagai bahasa nasional selama era kekuasaan Pakistan tahun1952.
Tapi kita layak bersedih. Tahun 2012 harian Pikiran Rakyat (edisi Rabu, 27/06/2012) menurunkan berita yang menyebutkan hampir 90 persen bahasa ibu di dunia terancam punah karena umlah penuturnya terus menurun. Dari 6.000 bahasa ibu di dunia, hanya sekitar 600 atau 10 persen saja yang tak terancam punah.
"Populasi penduduk dunia mencapai 6 miliar. Namun dari 6 miliar populasi tersebut hanya empat persen yang menggunakan sekian banyak bahasa ibu. Mayoritas populasi menggunakan bahasa ibu yang sama. Akibatnya setiap tahun ada saja bahasa ibu yang punah," kata Minda Tahapary, dari Sil Internasional Indonesia, dalam Konferensi Linguistik Internasional, yang digelar di Institut Teknologi Bandung, Rabu (27/6/2012).
Di Indonesia, lanjut Minda, berdasarkan hasil penelitian Sil pada 2007 terdapat 742 bahasa ibu atau negara kedua dengan bahasa ibu terbanyak di dunia. Di atasnya ada Papua Nugini dengan 800-an bahasa ibu. Namun, jumlah itu terus menurun karena banyak yang punah. Hingga 2009 tercatat 726 bahasa ibu di Indonesia.
"Di beberapa daerah ada yang bahasa ibunya punah secara drastis. Meski ada juga bahasa baru yang muncul. Sayangnya lagi banyak orang yang malu menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerahnya," ujarnya.
Aku tak anti-asing. Kalau kata asing berarti "yang lain" atau "liyan" maka hidup mengajari ku begini: jangankan ketika keluar dari rumah, begitu keluar dari diri sendiri pun dunia di sekitar kita berisi makhluk asing, liyan.
Namun bahasa dan semua kekayaan yang dikandungnya juga mengajarimu bahwa kamu bisa hidup jusru ketika bersama liyan. Dan yang pertama-tama adalah karena bahasa ibu membimbingmu menjadi diri sendiri dan menuntunmu untuk memahami liyan: manusia dan dunia. Selamat merayakan Hari Ibu Internasional.
No comments:
Post a Comment