Wednesday, December 25, 2013

Paperahan, Cara Warga Sumur Kumbang Menutup Tahun



Eman Syah/Teraslampung.com





KALIANDA—Setiap daerah memiliki adat istiadat sendiri. Biasanya adat istiadat itu sudah berlangsung lama dan turun-temurun. Seperti warga Desa Sumurkumbang, Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan, misalnya, mereka hingga kini masih melanjutkan tradisi nenek moyang dengan kegiatan paperahan atau praperahan.



Paperahan merupakan acara makan bersama yang diikuti seluruh warga desa. Acara itu tidak digelar di sebuah gedung atau balai desa, tetapi di jalan desa. Tiap penduduk akan membawa makanan sendiri-sendiri untuk dimakan bersama-sama.

Mastur, kepala Desa Desa Sumur Kumbang, mengatakan hajat desa yang digelar setiap akhir tahun itu merupakan wujud syukur warga kepada Tuhan YME atas limpahan rezeki dan kesehatan.

“Warga paperahan dimanfaatkan sebagai ajang silaturahmi dan menjalin keakraban. Mereka bersyukur karena diberi keberkahan tinggal di hutan Gunung Rajabasa,” kata Mastur.

Paperahan merupakan puncak acara dari serangkaian acara pendahuluan yang digelar selama enam kali pertemuan kecil. Enam kali pertemuan itu biasanya setiap hari Kamis sore. Pada pertemuan ketujuh atau pada hari Jumat semua warga menggelar paperahan mulai pukul 06.30 WIB hingga pukul menjelang wakti salat Jumat (pukul 11.00 WIB).

Menurut Mastur tradisi paperahan atau makan bersama di jalan desa itu sudah ada sejak sebelum negara Indonesia Merdeka. Kalau ada warga yang tidak habis makanannya, maka makananan yang sudah dibawa itu tidak boleh di bawa pulang, kecuali untuk diberikan kepada hewan peliharaan seperti ayam, itik, ikan, anjing atau kucing.

“Membawa pulang makanan yang sudah dibawa pada acara paperahan disebut pamali,” kata Mastur.

Menurut Santika,tokoh adat Desa Sumurkumbang, sebelum memasuki hari pamerahan, selama enam hari warga idesa harus mengikuti perilaku yang aturan tak tertulis. Antara lain dilarang bepergian ke luar daerah sampai bertemu bulan Safar (bulan kedua pada kalender Hijriyah), tidak boleh beraktivitas setelah lewat waktu dhuhur (di atas pukul 12.00 WIB), dilarang mendirikan rumah, membuat kerajinan atau beraktivitas yang mengeluarkan suara keras.

“Selain itu, warga masuk ke hutan Gunung Rajabasa untuk mencari kayu bakar tidak boleh membawa pulang kayu yang didapatkan di hutan setelah lewat pukul 12.00 WIB. Kayu bisa dibawa pulang keesokan harinya setelah semalaman ditaruh di perbatasan desa,” tuturnya.

Mahyudin, juga tokoh adat Desa Sumurkumbang, mengatakan tradisi paperahan ada kaitannya dengan penyelamatan bumi dan Kawasan Hutan Lindung Gunung Rajabasa.

Menurut Mahyudin, rangkaian kegiatan pemerahan pada hari ketujuh antara lain mamaca, yaitu membaca kitab Syech Abdul Qodir Zaelani, oleh tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.

Mamaca berlangsung mulai pukul 06.30 – 10.30 WIB. Saat para tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat mamaca, para pemuda desa mengambil daun pisang di Gunung Rajabasa. Daun-daun pisang yang masih lengkap dengan pelepahnya itu kemudian digelar di jalan desa,” kata Mastur.

Sementara itu, para ibu pagi itu sudah mulai memasak. Mereka memasak daging kambing. Saat proses masak selesai, proses mamaca juga selesai.

“Setelah itu warga desa makan bersama di jalan desa. Sebelum waktu salat Jumat, semua acara sudah selesai,” kata Mastur.

Desa yang sebagian besar penduduknya bersuku Sunda itu memang berada di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Rajabasa. Meski berada di dalam hutan, tetapi desa tersebut termasuk enclave (desa yang diakui pemerintah dan dikeluarkan statusnya dari hutan).

Akhir-akhir Desa Sumurkumbang menjadi berita hangat di sejumlah media karena adanya pertentangan rencana eksplorasi panas bumi. Eksplorasi panas bumi Gunung Rajabasa itu akan dilakukan oleh PT Supreme Energy.

Potensi panas Bumi di sana akan dikelola oleh PT Supreme Energy. PT Supreme Energy akan melakukan pengeboran di 12 lokasi untuk mendapatkan akses energi panas bumi di Gunung Rajabasa. eksploitasi dan eksplorasi panas bumi Gunung Rajabasa akan mampu menghasilkan energi sebesar 220 mega watt.

No comments:

Post a Comment