Sunday, January 12, 2014

Heboh Tokoh Sastra: Maman Tetap Menolak Denny J.A.


Maman S. Mahayana (Dok FB)
BANDARLAMPUNG, teraslampung.com--Salah satu tim penyusun buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Maman S.Mahayana, menjelaskan kronologi terbentuknya tim dan kronologi pembuatan buku. Dosen sastra Universitas Indonesia itu menjelaskan bahwa pada bulan Februari 2013, dirinya dihubungi Jamal D Rahman (juga Agus R Sarjono).

Jamal menyampaikan bahwa PDS HB Jassin memintanya untuk menulis buku tentang sastrawan Indonesia (yang fenomenal atau tokoh sastra yang berpengaruh pada kehidupan bangsa). Tentu saja Maman menyambut baik ajakan itu.

Di sini, ada tiga hal yang tak dapat ditolak Maman: (1) buku tentang tokoh sastra, (2) sahabat Jamal D Rahman, (3) PDS HB Jassin, lembaga yang sangat dihormatinya, seperti dirinya menghormati gurunya, Pak Jassin. Kemudian mereka bertiga berkumpul membincangkan hal umum tentang pentingnya buku itu.

“Saya diminta membuat draf dasar pemikiran, kriteria, dan senarai 40-50 nama sastrawan penting untuk didiskusikan. Sebagai proyek PDS HB Jassin, saya berpikir segalanya akan lebih mudah karena bahan-bahan sudah tersedia,” tutur Maman.

Pada pertengahan Februari, Maman kembali ke Seoul, Korea. Diskusi dilakukan lewat e-mail. Jamal dan Agus juga mengirimkan senarai nama sastrawan menurut pilihannya. Pada 26 Februari, Jamal mengirim email dan meminta dirinya berkumpul di Cisarua.

Disebutkan dalame-mail, “Kegiatan ini secara formal dilaksanakan oleh PDS HB Jassin. PDS HB Jassin telah memberikan mandat kepada Jamal D. Rahman untuk mengoordinasi kegiatan dimaksud.”

Pada 1 Maret, Maman dijemput Jamal di Bogor. Jamal bersama Ahmad Gaus. Menurut pengakuan Maman, itulah awal dirinya mengenal Gaus. Di Cisarua, sudah ada Berthold Damshäuser dan Agus R Sarjono, tetapi dirinya tak jumpa teman-teman dari PDS H.B .Jassin. Malamnya, penulis lain datang. Lengkaplah delapan orang. Diskusi dimulai dengan pembahasan dasar pemikiran dan kriteria. Segalanya berjalan lancar.

“Kemudian memasuki pemilihan nama-nama, dari rencananya 25 nama, membengkak lagi jadi 30, lalu ada lagi tambahan hingga sampailah ke angka 33,” kata kritikus sastra Indonesia itu.

Mengenai alasan mengapa 33 tokoh dan latar belakangnya, Maman menyampaikan bahwa memilih sastrawan-sastrawan penting dalam rentang waktu yang panjang memang sangat sulit.

Dari rencana awal 25 membengkak 30 sampai 33 menunjukkan proses yang tak mudah.
Setiap nama yang dimunculkan diikuti argumen dan berbagai hal sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan. Nama-nama seperti Yamin, Alisjahbana, Chairil Anwar, Iwan Simatupang, Jassin, Pramoedya, Sutardji, dan beberapa nama lain, seketika mendapat aklamasi.

Ada juga nama yang disepakati melalui proses perdebatan seperti Trisno Sumardjo, Idrus, Arief Budiman, Emha, dan beberapa nama lain. Tetapi ada dua nama disepakati melalui prinsip mayoritas. Kedua nama itu, Wowok Hesti Prabowo dan Denny J.A.. Menurut Maman, dia satu-satunya yang menolak nama Denny J.A.

“Meski saya menolak konsep estetik yang ditawarkannya seperti yang pernah saya tulis di salah satu media massa nasional, penolakan saya pada nama Denny J.A. bukan pada konsep estetik, melainkan pada pengaruhnya yang belum menunjukkan sesuatu yang signifikan bagi perkembangan sastra Indonesia serta kiprah dan kontribusinya yang masih harus kita lihat dalam tahun-tahun ke depan dan kepantasannya jika dibandingkan sastrawan lain,” ungkapnya.

Kenapa Maman tidak keluar saja dari tim buku tersebut? Maman berkilah, “Tentu langkah itu akan mencederai persahabatan, toh saya sudah terbiasa berbeda pandangan dengan teman, sahabat, bahkan dengan guru saya sendiri. Adapun angka 33 pada dasarnya pilihan,” ujarnya.

Maman menjelaskan berapa pun selalu akan ada pertanyaan yang sama. Misal, memilih 30 nama, mengapa 30 dan tidak 40 atau 50? Meski begitu, idealnya 10, tetapi jelas akan sangat sulit karena diperlukan data kualitatif-kuantitatif.

Memilih 33 nama itu pun sebenarnya perlu data kuantitatif yang bisa dilakukan melalui pendekatan resepsi atau frekuensi kemunculan nama itu dalam sejumlah majalah atau surat kabar, atau bahkan juga bisa melalui angket.

“Memilih 100 nama dengan data kualitatif sebenarnya lebih aman, tetapi akan menjadi buku yang sangat tebal dan perlu tambahan penulis lain,” ujarnya.

Yang menarik, ternyata penerbitan buku ini bukan gagasan dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Ariany Isnamurti, Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, secara tegas menyampaikan bahwa dirinya ataupun H.B Jassin tidak pernah memberikan penghargaan sedemikian besar kepada ke-33 orang tersebut.

“Kegiatan ini sama seperti kegiatan peluncuran buku pada umumnya. Kami hanya fasilitator tempat kegiatan dan buku-buku yang dibutuhkan oleh tim 8 sebagai bahan riset/penelitian,” tuturnya.

Perempuan yang akrab disapa Bu Rini itu menjelaskan bahwa awal tahun 2013 dirinya dan ketua tim 8, Jamal D Rahman, memang sempat berbincang mengenai hal ini.

“Kalau tidak salah pada bulan Maret 2013. Setelah perbincangan itu, saya dan Jamal tidak pernah lagi berbicara soal penerbitan buku itu. Lalu, pada November 2013, saya diminta untuk memberikan sambutan tertulis. Hanya itu, tidak lebih,” ungkapnya.

Terkait pelaksanaan acara dan pembicara, Ibu Rini mengaku dirinya diberikan dana oleh Jamal D Rahman, yaitu dana untuk mengurus konsumsi peluncuran, dana untuk honor pemateri, dan honorarium bagi dirinya sebagai penyelenggara serta para pekerja/pegawai H.B. Jassin.

Sumber: Koran Jakarta

1 comment:

  1. pak jassin kalau tahu Denny JA masuk kategori 33 tokoh ber ber ber... bisa jadi marah besar tuh.

    ReplyDelete