CERITA DARI LAPANGAN
Fernanda Gunsan PutraProgram KKNM (Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa) UNPAD 2014 telah memasuki minggu ketiga dari total empat minggu yang diwajibkan bagi mahasiswa untuk melaksanakannya. Sebagai salah seorang mahasiswa dari jurusan Sastra Inggris, pedoman saya dan kawan-kawan untuk terjun ke desa adalah buku Pedoman KKNM Unpad. Berdasarkan buku tersebut, di lokasi KKNM saya dan kawan-kawan kemudian mengidentifikasi kelayakan fasilitas sekolah, sumber daya pengajarnya, serta akses para pelaku kegiatan belajar mengajar menuju sekolah.
Untuk mendapatkan informasi tersebut, saya dan beberapa rekan dari jurusan lain menemui beberapa kepala sekolah dari tiap sekolah dasar yang ada di Desa Sirnasari, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya.
Beberapa latar belakang pendidikan tenaga pengajar di sini cukup baik. Bahkan, di antaranya ada yang yang lulusan universitas favorit dan lulus S2. Kelas-kelas di sekolah juga semuanya layak pakai. Namun, sayangnya masih banyak prasaran sekolah yang kurang. Salah seorang kepala sekolah SD, misalnya, mengeluhkan fasilitas sekolah seperti perpustakaan yang masih belum tersedia. Juga kurangnya ruangan kelas. Jumlah ruang kelas tidak sebanding dengan jumlah siswa yang ada, sehingga memaksa pihak sekolah untuk mengadakan jadwal kelas siang hari.
Kami mengajukan cukup banyak pertanyaan kepada para kepala sekolah. Salah satunya adalah tentang tingkat putus sekolah di sini. Mereka mengatakan bahwa semua lulusannya melanjutkan pendidikan ke SMP dan SMA. Sayangnya kami tidak mendapat kesempatan untuk mewawancarai kepala sekolah SMP dan SMA.
Mengingat hal tersebut, di rumah kontrakan tempat saya tinggal terdapat beberapa anak SD di sini yang sering berkunjung untuk diajari bahasa Inggris dan matematika. Empat orang anak tersebut adalah Andi, Yuza dan si kembar Budi dan Badu (nama disamarkan). Mereka merupakan teman satu permainan dan berasal dari satu sekolah dasar yang sama, tetapi dari tingkatan kelas yang beda-beda.
Andi siswa kelas 3 SD, Yuza kelas 6, sedangkan Budi dan Badu kelas 5 SD. Saya sedikit heran khususnya pada si kembar Budi dan Badu. Mereka ternyata memiliki tingkat pemahaman dan pengetahuan yang lebih rendah dibanding dengan Andi. Padahal, Andi masih duduk di bangku kelas 3. Budi dan Badu juga tidak sepintar Andi ketika belajar matematika.
Begitu pula dengan bahasa Inggris. Kosa kata dan konstruksi kalimat sederhana yang saya berikan sesuai dengan materi pada buku sekolah sangat sulit dipahami siswa kelas 5 tersebut. Mereka berempat sangat sulit untuk menangkap materi pelajaran khususnya bahasa Inggris walaupun materi yang saya berikan sudah sesuai dengan buku sekolah yang mereka bawa. Hal ini saya rasa memang tidak heran mereka alami karena cara mengajar guru mereka dan keadaan budaya di sini.
Sehari-harinya mereka berempat menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Lalu bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di sekolah dalam kegiatan belajar mengajar, baru kemudian bahasa Inggris. Sebagai bahasa ketiga yang harus mereka pelajari, tak mengherankan jika anak-anak itu mengalami kesulitan. Sebab, para guru mereka di sekolah pun tak jarang menggunakan bahasa Sunda dalam menyampaikan materi pelajaran. Alasannya, menggunakan bahasa Sunda sebagai pengantar memberikan pelajaran di sekolah lebih mudah. Itu pula yang membuat saya dan kawan-kawan sangat sulit mengajari mereka bahasa Inggris.
Ketika saya sudah menerjemahkan sebuah kosa kata ke dalam bahasa Indonesia, mereka belum tentu dapat memahaminya. Saya terpaksa meminta bantuan teman untuk menerjemahkannya bahasa Sunda ke dalam Bahasa Indonesia agar mereka tahu maksunya.
Di samping mengajar, saya melakukan survai dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada mereka tentang jenjang studi setelah lulus SD. Mereka mengaku bahwa akan melanjutkan ke SMP kemudian ke SMA dan langsung menikah setelah lulus. Saya kaget mendengarnya. Soalnya, jawaban itu meluncur dari mulut empat orang anak SD!
Yang membuat saya tambah terkejut, jawaban itu diucapkan secara yakin. Mereka tidak diajari orang tuanya untuk memberikan atau siapa pun untuk punya jawaban seperti itu. Mereka bilang tidak ingin repot-repot kuliah karena mahal dan tidak ada biaya. Toh kalau sudah lulus SMA bisa lebih mudah langsung menikah.
Saya beberapa kali menjelaskan dan membujuk mereka untuk melanjutkan jenjang pendidikan mereka ke universitas. Maksudnya, biar anak-anak itu kelak bisa mengangkat derajat kesejahteraan keluarganya. Setidaknya cakrawala pandangnya biar lebih terbuka. Namun, saya dibuat tidak berkutik ketika mereka memberikan contoh tetangga-tetangga mereka yang tetap berpenghasilan layak walaupun tidak kuliah. Berbagai tawaran seperti beasiswa dan pemaparan fasilitas gratis di beberapa kampus di Indonesia telah saya berikan kepada mereka. Namu, mereka bergeming: tetap ingin cepat menikah setelah kelak lulus SMA!
Saya rasa pendidikan di Desa Sirnasari, mungkin di Kabupaten Tasikmayala secara umum, harus lebih diperbaiki lagi. Mulai dari kurikulum pelajaran, penggunaan bahasa dalam kegiatan belajar mengajar, dan motivasi siswa untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Dengan adanya motivasi diharapkan cakrawala pikir para siswa tingkat lanjutkan itu menjadi lebih baik dan mau melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Dengan begitu, diharapkan nantinya akan lahir generasi baru yang jauh lebih baik dibanding para orang tua mereka yang rata-rata menikah pada usia dini.
No comments:
Post a Comment