Monday, January 6, 2014

Turun Kena, Naik Apa Lagi

KOPI PAGI

Oyos Saroso H.N.

Malang nian nasib Presiden SBY. Meskipun dia tampil sebagai ‘pahlawan’ karena menginstruksikan para menteri dan Dirut Pertamina berkoordinasi sehingga kenaikan harga gas elpiji 12 kg tidak gila-gilaan, SBY tetap banyak mendapat kritik. Dunia media sosial sangat riuh kritikan. Bahkan, tak jarang kritikan itu langsung menembus dinding Facebook dan Twitter SBY.

Sumber kritikan tidak semata-mata karena harga gas sudah telanjur naik—kemudian diturunkan—, tetapi juga tersebab oleh mudahnya publik membaca keanehan di balik kenaikan tersebut. Dalam pernyataannya, SBY mengaku tidak tahu dengan rencana kenaikan harga gas. Ia pun mengaku kaget ketika gas 12 kg tiba-tiba harganya meroket. Namun, publik yang agak melek tidak langsung bisa memercayai pernyataan itu. Ya, bukankah sebuah keanehan jika seorang Presiden tidak pernah dilapori anak buahnya tentang rencana kenaikan harga kebutuhan vital?

Kita paham bahwa gas saat ini menjadi kebutuhan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Ia sangat vital bagi masyarakat. Dulu, ketika zaman harga minyak tanah masih murah atau zaman penduduk masih memanfaatkan kayu bakar, mungkin gas tidak begitu penting. Namun, ketika pemerintah merayu rakyat untuk beralih memakai gas dan meninggalkan minyak tanah—dan sebagian rakyat mengamininya--, maka gas tidak boleh dianggap remeh.


Maka menjadi aneh pula ketika barang yang sangat dibutuhkan masyarakat itu harganya terkerek naik tiba-tiba ada pejabat pemerintah merasa kecolongan. Aneh pula ketika Presiden dan para menteri ikut-ikutan berteriak. Seolah-olah PT Pertamina menjadi ‘sang tertuduh utama’. Pertamina boleh disalahkan, tetapi (seolah-olah) pemerintah selalu benar.

Menangguk simpati dan mendongkrak citra sebagai pembela rakyat. Menjadi pahlawan. Itulah sinisme lain yang diarahkan kepada Presiden SBY saat keriuhan kenaikan harga elpiji menjelang reda. Tuduhan itu mungkin saja benar. Mungkin saja salah. Namun, ya itulah risiko seorang pemimpin. Ia harus siap disoraki bahkan dihujat pada saat berada dalam posisi salah.

Kalau judul film Warkop DKI boleh diplesetkan, maka posisi SBY saat ini adalah “Turun kena, naik lebih kena”.




No comments:

Post a Comment