Berdiri di Bandarlampung pada 17 April 2001, lembaga yang menekankan memberikan pemberdayaan kepada orang miskin ini kini menjadi model filantropi dan penyaluran bantuan bagi beberapa lembaga. Keberhasilan orang-orang yang dibantu Lampung Peduli menjadikan lembaga yang kini mengelola dana infak dan sedekah sebesar Rp 200 juta/tahun dan zakat sebesar Rp 154 juta/tahun ini menjadi tempat belajar banya pihak, baik itu LSM, lembaga pemerintah, maupun lembaga sosial lainnya.
“Dana yang kami kumpulkan dan kami salurkan memang jauh lebih kecil dibanding bantuan langsung tunai (BLT), bantuan operasional sekolah (BOS), dana beasiswa untuk anak terancam putus sekolah, dana jaring pengaman sosial bidang kesehatan (JPS-BK), atau bantuan sejenis yang diberikan oleh pemerintah daerah. Namun, kami sangat bersyukur karena sebagian besar orang miskin yang kami bantu benar-benar bisa keluar dari masalah kemiskinan,” ujar Juperta Panji Utama, direktur Lampung Peduli.
Menurut Panji, dana dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota di Lampung sebenarnya sudah cukup untuk menyelamatkan penduduk miskin dari kemiskinan. Ditambah dengan aneka dana bantuan yang dianggarkan pemerintah pusat untuk keluarga miskin, menurut Panji, seharusnya tidak ada alasan kalau angka kemiskinan di Lampung tak juga berkurang.
Panji mengaku banyak program bantuan yang tidak terintegrasi sehingga peluang tumpang tindihnya bantuan sangat besar. Sebuah kelompok masyarakat sudah dibantu program bantuan pemerintah pusat, misalnya, sering masih mendapat kucuran bantuan dari pemerintah daerah.
“Itu karena tidak ada need assessment dan pendampingan, akibatnya justru banyak terjadi kasus penyelewengan dana,” kata Panji.
Menurut Panji dana bantuan dari pemerintah itu umumnya diberikan begitu saja tanpa pendampingan, pemantauan, dan evaluasi. Akibatnya, dana yang diberikan itu langsung habis dan tetap gagal menyelamatkan penduduk miskin.
“Orang miskin tetap banyak, bahkan cenderung bertambah tiap tahunnya karena bertambahnya jumlah pengangguran. Itu karena pemerintah memberikan dana ibarat memberikan ikan. Dana diberikan bukan untuk memberdayakan rakyat miskin,” katanya.
Slamet dan kebunnya (dok LP) |
“Kalau petani miskin butuh pompa air, ya kami berikan pompa air, bukan televisi atau uang tunai. Kalau diberi uang tunai akan langsung habis,” ujarnya.
Panji mencontohkan Slamet, 40, ayah empat orang anak yang kini berkebun di tanah milik orang lain dengan sistem pinjam gratis. Sebelum menerima bantuan pompa air dari Lampung Peduli, petani sayur-mayur yang rumahnya masih berdinding geribik dan berlantai tanah itu mengalami kesulitan pada musim kemarau.
”Sekarang produksi sayuran milik Pak Slamet meningkat karena pengairannya terjamin. Meskipun rumahnya geribik bambu, semua anak Slamet masih sekolah,” kata Panji.
Bantuan yang diberikan oleh Lampung Peduli sebenarnya terfokus pada para siswa dan mahasiswa miskin berprestasi yang terancam drop out. Penerima yang bukan siswa dan mahasiswa biasanya adalah mereka yang karena pertimbangan tertentu harus dibantu. Misalnya, pedagang kecil yang terjerat utang pada rentenir, penjahit yang perlu bantuan peralatan, atau petani yang sangat membutuhkan alat pertanian.
”Kalau orang miskin pada umumnya sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Tapi, aneka bantuan itu kan tidak terintegrasi dengan baik sehingga bantuan itu seperti halnya menggarami lautan (sia-sia). Lebih parahnya lagi, bantuan itu banyak bermuatan politis,” ujarnya.
Dengan mengandalkan dana yang dihimpun dari para wajib zakat, selama ini Lampung Peduli sudah menyelamatkan ratusan siswa dan mahasiswa miskin dari ancaman drop out. Mereka umumnya siswa yang berprestasi. ”Salah satu siswa SMA yang kami bantu sekarang kuliah di Universitas Lampung. Dia sekarang juga membantu menjadi amil (pengumpul uang zakat) di Lampung Peduli,” kata Panji.
Salah satu kendala pengumpulan dana publik, kata Panji, adalah meyakinkan orang bahwa dana yang dikumpulkan akan sangat membantu orang miskin dari keterpurukan.
”Tetapi kalau kita transparan dan tidak melakukan korupsi, orang sebenarnya mau memberikan zakat. Persoalannya bagi orang muslim di Indonesia, pengetahuan tentang zakat masih rendah sehingga banyak orang kaya yang tidak mengeluarkan zakat,” kata dia.
Untuk mengumpulkan dan menyalurkan dana zakat, Panji mengaku dibantu oleh empat orang staf yang siap mengambil uang zakat dan menyalurkannya hingga ke pelosok Lampung.
Panji mengaku banyak kisah suka-duka dalam mengelola uang sumbangan. Kerap terjadi, kata Panji, Lampung Peduli harus mengantar bantuan ke daerah terpencil, padahal pemberi dana tidak memberikan ongkos untuk mengantar uang.
”Pernah suatu ketika orang yang memberikan zakat berpesan agar bantuan Rp 3 juta diberikan kepada sebuah sekolah dasar di Pagardewa, Kabupaten Tulangbawang. Kami harus naik perahu untuk melintasi sungai. Sekolah miskin yang bangunannya hampir roboh itu memang di daerah terpencil,” ujarnya.
Selain memberikan bantuan kepada siswa dan mahasiswa miskin dari ancaman drop out, Lampung Peduli kini bekerja sama dengan Lembaga Pengembagan Insani (LPI) Badan Amil Zakat Nasional-Dompet Dhuafa menjaring siswa SD yang miskin tetapi cerdas dan berpretasi untuk disekolahkan secara gratis di SMART Ekselensia Indonesial di Bogor, Jawa Barat. Pendidikan tingkat SMP—SMA yang umum ditempuh dalam enam tahun, di SEI ditempuh dalam 5 tahun. Lampung Peduli bertugas menjaring siswa miskin berprestasi, sementara LPI bertugas memberikan fasilitas pendidikan gratis.
”Tiap tahun kami memberangkatkan empat lulusan SD. Kami berharap, siswa dari keluarga miskin itu akan berhasil mengeluarkan keluarganya dari kemiskinan,” kata Panji. (Dewira/Mas Alina Arifin)
No comments:
Post a Comment