| Batu bara dari Tanjung Enim dibawa dengan kereta api batu bara rangkaian panjang (Babaranjang) menuju Tarahan, Bandarlampung, Lampung, Foto: Syamu Rizal Mukhtar) |
Sekitar tahun 1911, setelah ribuan transmigran yang didatangkan Pemerintah Hindia Belanda dari berbagai daerah di Pulau Jawa ke Lampung pada 1905 berhasil membangun perkebunan kaitsyuk, tembakau, kopi, karet, kelapa dalam, dan kelapa sawit, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia menganggap sarana angkutan hasil-hasil bumi dari Sumatera Selatan ke Pulau Jawa yang sangat mengandalkan pelayaran laut terlalu banyak memakan biaya dan waktu.
Persoalan makin bertambah ketika kapal-kapal besar untuk mengangkut hasil-hasil bumi sulit masuk pelabuhan perdagangan di Palembang, Krui, dan Menggala, di samping muatannya pun sangat terbatas. Maka, diputuskan mengurangi biaya transportasi dan mempercepat waktu dengan membangun rel kereta api (KA) dari Palembang ke Tanjungkarang.
Sebetulnya gagasan membangun rel KA ini muncul pada dekade 1870-an, setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J. Baron Sloet van den Beele meresmikan pencangkulan pertama pembangunan jalan KA di Desa Kemijen pada 17 Juni 1864. Sebelum jaringan KA pertama yang dibangun Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV NISM), cikal bakal PT Kereta Api (PT KA), ini selesai, para ahli kereta api yang didatangkan dari Belanda disebar untuk meneliti di Pulau Sumatera guna melihat kemungkinan membangun jalan KA.
Setelah penelitian itu, ditambah sukses pengoperasian perdana jalan KA antara Kemijen dan Tanggung, yang kemudian pada 10 Februari 1870 dapat menghubungkan Kota Semarang--Surakarta (110 km), akhirnya mendorong minat investor membangun jalan KA didaerah lainnya. Rel KA pertama di Pulau Sumatera dibangun di Aceh (1874), Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), kemudian Sumatera Selatan (1911).
Tahun 1911, pembangunan rel KA dimulai Pemerintah Hindia Belanda dengan mengerahkan ribuan orang serentak di Palembang dan di Tanjungkarang. Mereka membabat hutan-hutan dan meratakan tanah untuk dudukan rel KA, melintasi kawasan yang bukan permukiman penduduk. Semua dilakukan di bawah pengawasan ketat kolonialisme Belanda yang kejam.
Tragedi kemanusiaan yang merenggut ribuan nyawa saat pembangunan jaringan rel KA antara Kemijen dan Tanggung di Pulau Jawa, terulang di Pulau Sumatera. Semua pekerja bekerja di bawah tekanan dan tidak bisa melakukan perlawanan. Tenaga manusia dipaksa memasang batang-batang rel KA selebar 1.435 mm dan bantalan dari kayu dengan panjang sekitar 411 km.
***
Rel KA antara Tanjungkarang dan Palembang, melintasi hutan, perkebunan karet, perkebunan sawit, dan rawa-rawa. Jalur KA ini berbeda dengan yang ada di Pulau Jawa, di mana rel KA dibangun melintasi perkampungan-perkampungan. Penyebabnya, rel KA di Pulau Jawa disiapkan untuk angkutan manusia, sedangkan rel KA Tanjungkarang--Palembang disiapkan Belanda untuk mengangkut hasil bumi, hasil hutan, dan perkebunan dari negeri jajahan di Sumatera.
Pembangunan KA di Sumatera pertama kalinya ditujukan untuk angkutan barang, terutama hasil tambang dan hasil hutan. Seperti disebutkan dalam buku Sejarah Perkeretaapian di Indonesia, penelitian dan persiapan pembangunan kereta api di Sumatera sudah dimulai sejak 1875.
| Stasiun Tanjungkarang, Lampung (Foto: Syamsu Rizal Mukhtar) | Pengadaan kereta api di jalur Sumatera waktu itu adalah untuk mengangkut hasil tambang di batu bara di Ombilin, Sawahlunto, ke pelabuhan di Teluk Bayur, Sumatera Barat. Pembangunan dari Sawahlunto ke Teluk Bayur selesai pada 1984 dan sejak itu pula kereta api dibuka untuk umum. Perlahan-lahan, pembangunan jaringan kereta di Sumatera meluas. Hanya, tidak seperti di Jawa yang setiap rel lintasan terhubung menjadi satu, di Sumatera terputus-putus. Jalur kereta di Aceh berdiri sendiri, Sumatera Barat berdiri sendiri, demikian juga dengan lintasan di Sumatera Selatan dan Lampung.
Lintasan kereta di Sumatera Selatan pertama kali dibangun sepanjang 12 kilometer dari Panjang menuju Tanjungkarang, Lampung. Jalur rel ini mulai dilalui kereta, 3 Agustus 1914. Pada waktu bersamaan dilaksanakan juga pemasangan dan pembangunan lintasan rel dari Kertapati, menuju Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Sampai 1914, jalur rel lintas Kertapati hingga Prabumulih mencapai jarak 78 kilometer.
Perlahan, jalur rel kemudian dikembangkan untuk pengangkutan batu bara dari tempat penambangannya di Tanjung Enim. Kemudian dikembangkan juga jalur ke Lahat. Di Kota Lahat ada sebuah bengkel besar kereta (sekarang dinamakan Balai Yasa Lahat) yang berfungsi untuk perbaikan dan perawatan kereta api. Jalur-jalur yang terputus di Sumatera Selatan ini perlahan akhirnya bertemu.
Kini, panjang seluruh jalur rel yang dikelola PT Kereta Api Divisi Regional III Sumsel mencapai lebih dari 600 kilometer dengan 224 jembatan. Data di PT KA Divre III, jalur antara Tanjung Enim dan Tarahan panjangnya 411 kilometer. Kecepatan maksimum kereta untuk jalur ini adalah 90 kilometer per jam meskipun dengan kondisi rel dan kereta tidak memungkinkan mencapai kecepatan maksimal.
Sementara jalur Kertapati--Prabumulih mempunyai panjang 77,8 kilometer, Muaraenim--Lahat sepanjang 38,3 kilometer, dan Lahat-Lubuk Linggau sepanjang 117 kilometer. Sebagian besar masih memakai rel kecil tipe R25 dan R33, sedangkan 20 kilometer sudah menggunakan rel R41. Panjang rel dengan tipe R25 sekitar 70 kilometer. |
No comments:
Post a Comment