Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman |
SURABAYA, teraslampung.com—Kapolri Jenderal Polisi Sutarman membantah polisi sengaja menghabisi semua teroris dalam operasi. Menurut Jenderal Sutarman, polisi terpaksa menembak para terduga teroris karena saat disergap mereka membahayakan petugas dan masyarakat sekitar.
“Itu sudah sesuai Undang-Undang. Dalam penyergapan di Ciputat, Tangerang Selatan, itu ada salah satu anggota Densus 88 Aniteror yang kakinya tertembak saat berupaya menangkap para terduga teroris,” kata Sutarman, di Mapolda Jatim, di Surabaya, Jumat (3/1).
Seperti diketahui, enam daru tujuh enam terduga teroris di yang disergap Densus 88 Antiteror
Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (31/12/2013) malam, semua tewas.
Tewasnya enam orang terduga teroris itu mendapatkan banyak kritikan dari berbagai kalangan. sesuai dengan prosedur undang-undang. Polisi terpaksa menembak mati karena para terduga teroris membahayakan petugas dan orang lain.
"Ada salah satu anggota Densus 88 Antiteror yang tertembak salah satu kakinya saat berupaya menangkap para terduga teroris. Ini membahayakan, dan langkah menembak mati mereka sesuai prosedur undang-undang," katanya seusai bertandang ke Mapolda Jatim di Surabaya, Jumat (3/1/2013).
Sutarman menegaskan polisi sama sekali tidak menginginkan ada korban dari semua pihak, termasuk terduga teroris, polisi, dan masyarakat setempat.
Aksi penggerebekan terduga teroris dilakukan Densus 88 tepat malam tahun baru itu berlangsung lebih dari sepuluh. Kabarnya Kapolri Jenderal Sutarman juga sempat memantau secara langusng jalannya penyergapan tak jauh dari lokasi.
Dalam operasi itu lima orang yang diduga sebagai teroris tewas dalam satu ruangan di sebuah rumah kontrakan di Gang H Hasan, Jalan KH Dewantoro, RT/ RW 04/07, Kelurahan Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan. Seorang tewas pada malam sebelumnya, dan seorang ditangkap hidup-hidup.
Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, mengatakan menembak mati terduga teroris seharusnya menjadi upaya terakhir polisi saat berupaya menangkap orang-orang yang diduga adalah teroris.
Menurut Poengky tindakan polisi yang menembak mati para terduga teroris bukan hanya mengabaikan asas praduga tak bersalah, tetapi juga menutup peluang untuk mengungkap rantai kejahatan terorisme.
“Kalau mereka hidup, tentu akan lebih baik karena bisa menjadi penunjuk jalan mengungkap jaringan terosrisme di Indonesia,” kata Poengky.
Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y. Thohari mengatakan penembakan mati terduga teroris oleh Densus 88 tidak sesuai dengan konstitusi karena tidak menjalankan prinsip-prinsip negara hukum.
"Penembakan (hingga mati) itu kurang tepat. Itu tidak sejalan dengan konstitusi yang menyatakan Indonesia sebagai negara hokum. Itu melanggar supremasi hokum," kata Hajriyanto.
Hajriyanto mengingatkan bahwa bunyi UUD 1945 pasal 1 ayat 3 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan pasal itu, kata Hajriyanto, para terduga teroris itu boleh dihukum mati, tetapi harus melalui keputusan pengadilan.
Menurut Hajriyanto setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, maka setiap orang yang diduga melanggar hukum harus tetap ditindak dengan proses penegakan hukum yang tepat.
"Artinya, proses penegakan hokum itu sendiri tentu tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hokum. Teroris boleh dihukum mati di Indonesia dengan cara ditembak, namun penembakan itu harus berdasarkan keputusan pengadilan," tegasnya.
No comments:
Post a Comment