Sunday, January 5, 2014

Menimbang Kemaslahatan UU Desa (1)

R. Yando Zakaria

Tepat tengah hari, Rabu 18 Desember 2013 yang lalu, Undang-Undang Desa disahkan DPR. Pengesahan undang-undang ini merupakan tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia. Setidaknya begitu menurut Darizal Basir, salah satu anggota Tim Panitia Khusus RUU Desa, politikus Partai Demokrat dari wilayah pemilihan Sumatera Barat.

Menurutnya, sejak bangsa ini ada, baru kali ini ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang desa dan desa adat. Selama ini, pengaturan tentang desa selalu menjadi bagian dari UU tentang Pemerintahan Daerah. "Undang-Undang ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan di Desa atau sebutan dengan nama lain seperti Nagari di Sumbar. Segala potensi di daerah juga dapat lebih diberdayakan untuk kesejahteraan rakyat" lanjutnya.

Pandangan senada datang dari Persatuan Wali Nagari Limapuluh Kota (Perwanaliko) dan Persatuan Wali Nagari se-Kabupaten Agam. ”Kami mendukung, menyambut baik, dan memberi apresiasi kepada DPR RI yang sudah mengesahkan RUU Desa menjadi Undang-Undang,” kata Ketua Perwanaliko Budi Febriandi kepada Padang Ekspres, Kamis (19/12) siang.

Meski begitu, di sisi lain, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat M Sayuti Dt Rajo Penghulu berpandangan sebaliknya. Menurutnya UUD Desa tidak boleh diberlakukan Pemerintah. “Kami terkejut dengan pengesahan UUD Desa tersebut, dan tentu kami sangat menentangnya. Jika UU Desa tersebut dijalankan, maka Negara tidak lagi menghormati kearifan lokal, Negara telah mencabik-cabik Bhinneka Tunggal Ika,Negara telah mengobrak-abrik NKRI. Kami minta agar pemerintah pusat sadar jika Negara Indonesia bukanlah pulau Jawa saja, namun dari Sabang hingga Merauke,” ujar M Sayuti kepada wartawan dalam jumpa pers di kantor LKAAM Sumbar, di Padang, sehari setelah UU Desa ditetapkan.

Lebih jauh M Sayuti mengklaim, penolakan ini didukung Bundo Kanduang, Lembaga Majelis Adat Aceh Sumbar, pemuka adat dari perwakilan daerah di Sumatera Barat, serta DPRD dan Gubernur. Padahal, menurut Budi Febriandi, UU Desa itu sudah diperjuangkan bersama sejak 2006. Tidak hanya oleh para kepala desa di pula Jawa, tapi juga oleh wali-wali nagari di Sumatera Barat. “Pengesahan UU Desa ini mengisyaratkan, adanya pengakuan negara secara utuh terhadap pemerintah desa atau nagari,” kata Budi yang juga Sekretaris Persatuan Wali Nagari (Perwana) Sumbar.

Bagaimana duduk-soal yang sebenarnya? Benarkah optimisme ataupun kekuatiran yang disampaikan Ketua LKAAM Sumatera Barat itu? Perubahan-perubahan pengaturan seperti apa sebenarnya yang telah dibawa oleh Undang-Undang Desa yang baru ini? Lebih dari itu, perubahan-perubahan tingkat lapangan yang tidak diinginkan apa pula yang perlu diantisipasi? Bagaimana memanfaatkan undang-undang ini sendiri untuk menghidari hal-hal yang tidak diinginakan itu? Berikut beberapa catatan saya terhadap beberapa pertanyaan pokok dimaksud.

Amanat Reformasi

Bagi saya, ketika hendak mengevaluasi apakah pesan reformasi terkait kebijakan Negara atas desa (atau yang disebut dengan nama lain di berbagai daerah di Indonesia), setidaknya ada 3 (tiga) kata kunci yang perlu dicermati. Semangat reformasi baru dapat dikatakan terpenuhi, dan itu berarti kita telah menghindari kesalahan pada masa lalu,6 adalah jika kebijakan baru tentang desa itu mampu  merealisasikan (1) pengakuan atas hak asal-usul, (2) yang bersifat istimewa di hadapan (hak-hak) Negara; di dalam situasi sosial dan budaya yang (3) keberagaman di Nusantara ini. Hemat saya, inilah inti dari pengakuan dan penghormatan konstitusi Indonesia terhadap susunan asli yang juga disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat cq. desa atau disebut dengan nama lain, atau juga masyarakat tradisional dan kebudayaan daerah sebagaimana diatur Pasal 18B ayat (2), dan juga Pasal 28i dan Pasal 32 Undang-undang Dasar 1945.

Ada-tidaknya pengakuan atas hak asal-usul dapat dilihat sejauh mana kebijakan Negara mengakui keberlakukan hak-hak (bawaan) masing-masing susunan asli yang sejatinya meliputi tiga elemen utama. Yakni menyangkut tata organisasi, tata aturan yang digunakan, dan juga pengakuan atas hak-hak yang menjadi basis material kehidupan masyarakat yang beraangkutan yang disebut ulayat atau wilayah adat, sebagaimana telah ditegaskan pengakuannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 tentang Pengujian atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Desa Indonesia yang Beragam

Aneka ragam bahasa dan budaya yang begitu luar bisa telah menimbulkan kekaguman para peneliti asing sejak lama. Pada zaman kolonial hal itu melahirkan sebuah disiplin keilmuan yang disebut taal, land en volkenkunde (Marzali, 2010). Sebagaimana dicatat oleh Marzali, sejumlah sarjana ternama pernah membangun klasifikasi berkaitan dengan masyarakat di Indonesia.  Antara lain, klasifikasi-klasifikasi berdasarkan ciri-ciri fisikal penduduk (J.J.Hollander 1861); daerah hukum adat (van Vollenhoven 1918); golongan etnisnya (van Eerde 1920; Heyne 1927; Kennedy 1943; Jaspan 1955; serta Berzina dan Bruh 1962); bahasa (Esser 1938); sistem ekologinya (Geertz 1963). Dua orang ahli antropologi Indonesia, yaitu Koentjaraningrat (1973) dan Ave (1970), membuat pengklasifikasian masyarakat dan budaya di Indonesia menurut pendekatan yang berlainan.

Berdasarkan ’tipe-tipe sosial dan budaya’ (Koentjraningrat, ed., 1970 dan 1984) kita pun mengenal desa yang warganya mengadalkan kelangsungan hidupnya sehari-hari melalui kegiatan berburu dan meramu, ditambah sistem berkebun yang amat sederhana, seperti yang banyak dijumpai di Kep. Mentawai; pedalaman Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua; desa dengan warga petani ladang berputar, sebagaimana yang banyak dijumpai di pedalaman Sumatera, Sulawesi, Kalimantan; desa-desa petani sawah (Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan), dan desa pesisir dengan warga yang dominan menjadi nelayan, sebagaimana umum dijumpai di wilayah pantai/pesisir pada ribuan pulau yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Keragaman masing-masing desa makin diperkaya pula oleh tinggi-rendahnya pengaruh Hindu, Zending dan Missi, Islam, dan ‘Orde Pembangunan’.

Singkat kata, susunan asli di Indonesia sangatlah beragam. Implementasi UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang dihentikan keberlakuannya siring angin reformasi, telah menambah kerumitan keberagaman desa itu. Tim Peneliti Forum Pembangunan dan Pembaruan Desa/FPPD (2007) pernah membuat klasifikasi berdasar tinggi-rendahnya pengaruh adat pada desa-desa (dalam arti pemerintahan desa) di Indonesia saat ini. Hasil penelitian itu menunjukkan ada desa yang pengaruh adatnya masih sangat kuat, ada pula desa yang pengaruh adatnya sudah pudar, yang tinggal hanya ritual-ritualnya saja seperti kenduri dan selamatan. Ada pula yang sesungguhnya tidak ada desa kecuali kelompok masyarakat adat. Menurut Tim Peneliti FPPD hubungan antara adat dan desa yang saling mempengaruhi itu berkembang hingga menimbulkan lima ragam desa.

Keberagaman Desa dan Penyelenggaraan
Pemerintahan dan Pembangunan Nasional

Dalam rangka menyusun kebijakan yang mengatur urusan pemerintahan dan pembangunan yang mampu mengakomodasi keberadaan desa yang beragam itu, saya mengusulkan 3 (tiga) alternatif pilihan yang dapat ditempuh sesuai kebutuhan di daerah atau bahkan kebutuhan di tingkat desa masing-masing. Ketiga pilihan itu adalah, (1) penyelenggaraan sistem pengurusan hidup bersama yang berbasis pada sistem organisasi adat yang ada atau yang disebut self governing community; (2) sistem desa administratif (local state government); dan (3) sistem desa otonom (local self government). Pemilihan atas satu tipe tergantung pada keputusan daerah dan masyarakat setempat, berdasarkan kenyataan lapangan yang ada. 

Dalam konteks   model kebijakan yang akan ditetapkan, ketiga model itu terpilah menjadi tiga bentuk.  Masing-masing adalah: (1) sistem desa asli atau desa adat, (2) sistem desa praja, dan (3) sistem desa administratif. Penyelenggaraan masing-masing pilihan akan berbeda satu sama lainnya, terutama yang menyangkut tiga hal penting. Yaitu: a. nomenklatur atau istilah-istilah desa dan lembaga-lembaga lokal, b. kewenangan desa, kita tahu bahwa desa-desa di luar Jawa mempunyai tradisi yang kuat dalam penyelenggaraan peradilan adat, dan c. struktur dan organisasi pemerintahan desa. Semua itu dipengaruhi oleh sejarah, budaya, dan adat setempat yang beragam.

Pilihan dari model pertama adalah implementasi penuh dari asas rekognisi (pengakuan dan penghormatan terhadap hak asal-usul desa bersangkutan). Oleh karenanya desa memiliki kewenangan yang bersumber dari asal-usul yang menyangkut sistem sosial dan budaya, sistem politik, dan hukum melalui institusi demokrasi komunitarian (demokrasi); serta pengaturam sumber-sumber agrarian yang menjadi basis material  susunan asli ini.

Implikasi lain dari pemilihan adalah desa mengelola urusan-urusan masyarakt yang berskala lokal, memperoleh tugas-tugas administratif dari negara yang sangat terbatas sifatnya; meski tidak menutup kemungkinan mendapatkan aliran dana dari negara melalui mekanisme keuangan yang ada sebagai implikasi desa bagian negara itu sendiri.

Pilihan kedua adalah model desa administratif atau desa korporatis (local states goverment). Desa admininistratif adalah unit birokrasi sebagai kepanjangan tangan negara di tingkat lokal. Asas yang berlaku dalam model ini adalah delegasi atau tugas pembantuan. Pada model ini desa menjalankan tugas-tugas administratif dan pelayanan yang ditugaskan pemerintah. Implikasinya adalah desa tidak mempunyai institusi demokrasi dan tidak ada otonomi. Untuk menyelenggarakan kegiatannya desa administratif menerima dana belanja aparatur dari pemerintah. Model ini dapat diambil pada situasi dimana pemilihan desa adat dan/atau desapraja tidak dapat dilakukan. Misalnya di daerah remote di mana pekembangan masyarakat hukum adatnya belum mencapai sistem pengorganisasian yang bersifat teritorial.Sementara pilihan untuk menjadi desapraja juga rawan dominasi oleh kelompok-kelompok masyarakat dominan lainnya.

Model yang ketiga adalah model desa otonom, atau sering pula disebut sebagai local self government. Desa otonom adalah unit pemerintahan lokal otonom yang berada dalam subsistem pemerintahan NKRI. Status desa tidak ubahnya seperti daerah otonom. Dalam model ini pemerintah memberikan desentralisasi (penyerahan) urusan-urusan menjadi kewenangan desa. Sebagai daerah otonom desa juga mempunyai institusi politik demokrasi modern (elektoral dan perwakilan). Pemerintah wajib mengalokasikan (alokasi) anggaran untuk membiayai pelaksanaan kewenangan/urusan. Sampai tahap tertentu, perangkat desa pun bisa menjadi PNS.
*R.Yando Zakaria adalah praktisi Antropologi.  Felllow pada Lingkar Pembaruan  Desa dan Agraria, Yogyakarta. Mantan anggota Tenaga Ahli Panitia Khusus RUU Desa, DPR RI

No comments:

Post a Comment