R. Yando Zakaria*
Meskipun undang-undang mengizinkan oparasionalisasi hak-hak desa secara beragam, tetap harus ada standar-standar yang berlaku umum. Undang-undang sebaiknya juga menjunjung standar universal yang harus ada dalam setiap opsi. Dengan demikian, apapun pilihannya nanti, desa harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, pluralisme, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Nilai-nilai universal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya feodalisme dalam tata pemerintahan desa. Untuk itu, pemerintahan sebaiknya memberikan gambaran yang cukup memadai tentang karakter dan disain kelembagaan masing-masing tipe/pilihan. Jika perlu, memberikan kesempatan transisional yang cukup, misalnya sekitar dua tahun, bagi desa-desa yang terlanjur ada sekarang ini untuk memilih pilihannya yang tepat.
Desa tidak hanya sekedar Pemerintahan Desa
Labih dari itu, yang lebih penting adalah bahwa desa tidaklah sekedar pemerintahan desa. Maka, kebijakan dan regulasi tentang desa ke depan harus lebih dari sekedar ‘pemerintahan desa’ itu. Kebijakan dimaksud haruslah mengarah pada realisasi pengakuan atas hak asal-usul yang melihat desa baik sebagai persekutuan sosial dan budaya; desa sebagai persekutuan hukum, politik, dan pemerintahan; dan desa sebagai persekutuan ekonomi (sebagai ekspresi dari penguasaan desa atas sumber-sumber kehidupan yang menjadi ulayatnya. Dengan simpul pemikiran yang demikian itu kita ingin merevitalisasi desa aebagai ‘modal sosial’ dalam menyongsong masa depan yang (bakal) tidak mudah itu. Baik karena faktor-faktor lokal, nasional, dan global. Selain itu, kebijakan baru dimaksud dimaksudkan jugan untuk mengkonsolidasi kembali sistem tenurial ‘yang kadung amburadul’ dan ‘menyingkarkan hak-hak masyarakat adat’ melalui pengakuan hak-hak asali desa sebagai dasar bagi ‘pembaruan desa’ cq. ‘reforma agraria’, sebagaimana telah diamanatkan dalam TAP MPR IX/2001.
Beberapa Karakter Dasar UU tentang Desa Tahun 2013
Undang-Undang tentang Desa yang baru saja ditetapkan ini adalah undang-undang pertama pasca-pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang diamanatkan oleh reformasi. Sebelumnya, melalui pemberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa hanya diatur oleh peraturan-perundangan setingkat Peraturan Pemerintah.
Beberapa karakter penting dari Undang-Undang Desa yang diharapkan mampu menjadi pengubah kehidupan di desa menjadi pelaku pembangunan yang penting adalah sebagai berikut. Pertama, dari dasar konstitusional, jika sebelumnya desa hanya berdasarkan Pasal 18 ayat (7) (tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah), Undang-Undang Desa yang baru mendasarkan diri pada pengaturan pada Pasal 18B ayat (2) (tentang pengakuan dan penghormatan kepada kesatuan masyarakat hukum adat) yang ‘diwarnai’ oleh Pasal 18 ayat (7), sebagai konsekuensi masuknya kesatuan masyarakat hukum adat itu dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Nasional.
Terkait asas yang menjadi dasar dalam pengembangan kewenangan desa, semula kewenangan desa menjadi bagian dari politik desentralisasi cq. otonomi daerah, sekarang berubah menjadi asas rekognisi dan subsidiaritas.
Kedua, perubahan asas ini berimplikasi besar tidak saja pada bentuk dan jenis kewenangan desa (yang sekarang mengakui kewenangan yang bersumber pada hak asal-usul), melainkan juga pada (pembesaran) keuangan desa. Kedudukan desa pun berubah. Semula ‘berada dalam sistem pemerintahan daerah kabupaten/kota’; sekarang menjadi ‘berada dalam wilayah kabupaten/kota’.
Ketiga, dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ke depan, berbeda sedikit dengan usulan saya di atas, setidaknya diakui apa yang disebut dengan desa dan desa adat. Defenisi yang digunakan pun jauh ‘lebih maju’ ketimbang kebijakan yang pernah ada, yakni: Desa adalah desa (usul saya untuk menambahkan nama Praja sebagai pembeda tidak diterima, sehingga sering menimbulkan kebingungan dalam penulisan norma) dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyebutan desa dan desa adat dapat disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat. Dalam undang-undang ini desa adat diatur dalam sebuah bab khusus (BAB
XIII).
Keempat, untuk memenuhi hak-hak konstitusional desa atau yang disebut dengan nama lain, melalui undang-undang ini, dimungkinkan berbagai perubahan berikut: Desa dapat menjadi Desa Adat (Pasal 100); Kelurahan dapat menjadi Desa (Pasal 12); Kelurahan dapat menjadi Desa Adat (Pasal 100); Desa dapat menjadi Kelurahan (Pasal 11); dan Desa Adat dapat menjadi Kelurahan (Pasal 100). Yang penting, Desa/Desa Adat itu dapat Berubah status, Digabung (Pasal 10 & 99), Dimekarkan (Pasal 8 ayat 1), atau
Dihapus berdasarkan prakarsa masyarakat dan Ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Propinsi atau Kabupaten/Kota) yang disertai peta wilayah (Pasal 1001).
Kelima, sebagaimana yang telah disebut, perubahan mendasar lain yang dibawa oleh undangundang baru ini adalah tentang keuangan desa. Di masa depan, setidaknya ada 7 (tujuh) sumber pendapatan desa. Yakni (1) Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa; (2) Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (10% dari dana transfer ke daerah (ini berarti dana transfer ke daerah adalah 110% yang terbagi 100% untuk daerah dan 10% untuk desa); (3) Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota (10%
dari Pajak dan Retribusi Daerah); (4) Alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota (10% dari DAU + DBH); (5) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota; dan (6) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan (7) Lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Langkah baru untuk perubahan kehidupan dan penghidupan di desa sudah diayunkan. Tentu saja tantangan yang akan dihadapi tidak sedikit. Dua perubahan besar yang dilakukan, terkait ‘perpanjangan masa jabatan’ Kepala Desa menjadi 6 tahun dan bisa dijabat 3 kali secara berturut-turut atau tidak dan ‘konsolidasi’ keuangan pembangunan yang bermuara pada pengelolaan keuangan desa yang relative besar di tingat desa, sebagaimana dikuatirkan banyak pihak, memang perlu mendapat perhatian yang lebih.
Karena itu, undang-undang ini juga melengkapi kelembagan (pemerintahan) desa dengan
partisipasi masyarakat secara luas. Baik melalui Badan Permusyawaratan Desa (Pasal 55 hingga 65) maupun melalui Musyawarah Desa (Pasal 54) yang harus dilakukan untuk hal-hal yang strategis.11 Kecuali pasal-pasal yang berkenaan dengan partisipasi masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa dan Musyawarah Desa, partisipasi masyarakat itu dijamin pula melalui ‘hak masyarakat desa’ (Pasal 68); Pasal 82 (tentang pemantauan dan pengawasan pembangunan); dan Pasal 86 (tentang sistem informasi pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan).
Penutup
Tentu saja undang-undang ini tidak dapat segera berlaku penuh sejak ditetapkan. Sebagaimana diatur pada Pasal 120 ayat 2, “Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Saya pribadi menyambut baik waktu persiapan yang relatif cukup panjang ini, mengingat undang-undang yang baru ini mengandung perubahan-perubahan radikal. Seperti dimungkinkannya desa-desa yang ada sekarang ini kembali ’ke bentuknya semula’ cq. ’desa adat’ menurut konteks sosial-budaya yang begitu beragam di negeri ini.
Jika dicermati lebih jauh, setidaknya ada 3 (tiga) Peraturan Pemerintah; 1 (satu) Peraturan Menteri; dan 2 (dua) Paraturan Daerah (Propinsi atau Kabupaten) yang diamanatkan oleh undang-undang ini agar peraturan-perundangan ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Ketiga Peraturan Pemerintah dimaksud adalah: (1) Peraturan Pemerintah tentang Pelasanaan Undang-Undang Desa, yang relatig bersifat umum, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 120 ayat 2; (2) Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan (a) Tatacara Pemilihan Kepala Desa (Pasal 31ayat 3); (b) Tatacara Pemberhentian Kepala Desa (Pasal 40 ayat 4); (c) Musyawarah Desa untuk pergantian Kepala Desa (Pasal 47 ayat 6); (d) Perangkat Desa (Pasal 50 ayat 2); (e) Pemberhentian Perangkat Desa (Pasal 53 ayat 4); dan (e) Penghasilan Pemdes (Pasal 66 ayat 5); (3) Peraturan Pemerintah yang berkenaan dengan masalah pengaturan lebih lanjut tentang (a) Keuangan Desa (Pasal 75 ayat 3); dan (b) Pengelolaan Kekayaan Milik Desa (Pasal 77 ayat 3).
Satu-datunya Peraturan Menteri yang diamanatkan oleh undang-undang ini adalah Peraturan Meteri tentang Tatacara Pemilihan Kepala Desa sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 31 ayat 3. Adapun kedua Peraturan Daerah yang dibutuhkan adalah (1) Peraturan Daerah tantang hal-hal yang berkaitan dengan (a) Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan kepala desa adat (Pasal 109); (b) Syarat (tambahan) Kepala Desa (Pasal 33, huruf m.); dan (c) syarat tambahan anggota Badan Permusyawaratan Desa (pasal 65 ayat 2); serta (2) Peraturan Daerah tentang pengaturan lebih lanjut tentang perencanaan & pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 84 ayat 3.
Di samping itu, hal lain yang perlu dicermati adalah amanat yang disampaikan pada BAB XV (Ketentuan Peralihan). Pada Pasal 116 ayat 2 dinyatakan bahwa “Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan Desa dan Desa Adat di wilayahnya”; dan pada ayat 3 dikatakan “Penetapan Desa dan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Ini adalah isu kritis yang perlu segera disikapi oleh berbagai pihak. Terutama bagi warga desa itu sendiri. Betapapun, proses penyusunan berbagai kebijakan turunan ini perlu dijadikan agenda bersama ke depan agar produk hukum yang akan dihasilkan tidak mengkhianati semangat undang-undang yang sesungghnya. Di daerah-daerah yang potensi ’pulang kampung’-nya relatif besar, umumnya terdapat di daerah-daerah di luar Pulau Jawa, akumulasi pengetahuan tentang keberadaan ’desa adat’ di daerah itu harus segera divalidasi sedemikian rupa. Peluang yang diberikan oleh pasal peralihan ini perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin. Jika fase peralihan yang diselenggarakan secara massal ini terlewatkan, maka kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang layak menjadi satu ’desa adat’ terpaksa harus berjuang secara sendiri-sendiri.
Mudah-mudahan niat baik yang terkandung dalam undang-undang baru ini terwujud sebagaimana mestinya, dan tidak membuat kehidupan desa dan/atau desa adat justru menjadi lebih porak-poranda.***
*R. Yando Zakaria adalah praktisi Antropologi. Felllow pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria, Yogyakarta. Mantan anggota Tenaga Ahli Panitia Khusus RUU Desa, DPR RI
No comments:
Post a Comment