Prosa Hudan Hidayat: Mata AF
prosa untuk afrilia utami
1. mata
mungkin aneh kalau mata kita keluar dari liangnya untuk melihat apa yang ingin kita pandangi. apa yang ingin aku pandangi? apa yang ingin ia pandangi? kukira matanya sembunyi di sebuah ruang. mataku juga, sembunyi di sebuah ruang. ruang dari liang mata kami. mata kami sembunyi di liangnya sendiri.
suatu hari aku membujuk mataku. keluarlah kataku, lihat bagaimana keadaannya. kubarut-barut mataku dan aku tahu ia agak lelah. kubarut-barut lagi mataku dan aku yakin ia memang lelah.
aku kasihan kepada mataku. istirahat aja ya kataku.
aku tak jadi memintanya keluar dari liangnya. diam sajalah di sini, kataku sambil membarut-barut mataku. kamu lelah dan aku tidak tega memintamu berjalan. tadinya kalau kamu tidak lelah, aku ingin kamu berjalan ke sebuah tempat. aku masih ingin tahu tentang dia, tapi kamu lelah. jadi diam sajalah tak usah pergi. mataku diam saja. kukira dia mengantuk oleh barutan-barutan tanganku kepadanya.
aku berbaring dan punggungku berbaring di kursiku. kakiku terayun-ayun di bawah mejaku. panas sekali jari-jariku oleh tuts-tuts komputerku, yang siang malam tidak pernah kumatikan. pernah ia mati sendiri, kucas tak mau hidup. aduh kataku, kata mataku, ia lelah, kataku, oh iya juga. ia pasti lelah dan kata mataku, aku juga lelah dan begitulah tubuhku satu demi satu berbicara. aku juga kata tanganku dan kata punggungku, kukira aku yang paling lelah di antara kita.
aku diam saja. akhirnya aku tertidur sambil berbaring di kursiku.
tapi apakah aku tidur, sebab mataku rasanya telah keluar dari liangnya dan mulai mengerjakan mimpiku ingin melihat dia. siapa dia yang kamu ingin lihat, kataku dan mataku meminta agar aku diam. diam saja katanya, aku coba lihat dulu dia kini di mana.
aku pun diam dan lalu mulai sadar, sebenarnya aku bukan tertidur, tapi gelap oleh mataku telah keluar dari liang di wajahku ini. aku jadi terharu dengan mataku. kamu setia mata kataku, padahal aku tidak minta karena tahu dia lelah.
gelap di seputarku tapi mataku melihat ke sebuah ruang. di sini dia kata mataku dan tadi mataku berkeliling, mencari jalan dan akhirnya tersesat di jalan layang. aku pernah di sini tidak bisa pulang dan kamu berputar-putar seperti orang buta dan kita tidak bisa pulang di suatu malam.
aku tersipu oleh kini mataku telah jadi telingaku. telingaku jadi mataku oleh mataku tidak lagi di tempatnya. kupegang pegang mataku, tadi aku yakin tak lagi ada mataku. terpegang olehku liang kosong. tapi kini aku memegang daun telingaku. aku masih ragu, jadi aku memastikan lewat tanganku. kupegang daun telingaku dan di sana kosong. kupegang lagi mataku dan memang di sini daun telingaku. jadi aku kini yakin, telingaku telah jadi mataku sedang mataku tengah berjalan, jauh dari badanku kini.
aku menyimpulkan untuk diriku sendiri. jadi sebenarnya aku ini sedang mendengar bunyi dari mataku bukan memandangi hal ihwal lewat mataku. kupegang kesimpulan itu dalam keadaan gelap. mataku tak melihat di telingaku kini. aku hanya mendengar saja bunyi dari mataku yang lagi berjalan.
aku berbisik bisik kepada telingaku yang kini jadi mataku. apa yang kamu dengar kataku. diam dulu, kukira aku memang mendengar bunyi jauh di sana. iya aku memang melihat sesuatu di sini kata mataku. wah aku tidak melihatnya. apa ya yang dilihat oleh mataku jauh di sana.
aku menunggu. lama aku menunggu. telingaku tidak mendengar bunyi lagi. mataku tidak melihat dan mengirimkan bunyinya lagi. aku putus asa dan akhirnya diam saja. ah mataku telah pergi kataku. dia tidak mau kembali lagi. biarlah, itu haknya juga, dia pergi. mungkin dia memang ingin pergi sejak lama. tapi tidak tahu bagaimana caranya. telingaku juga, kukira dia juga akan meninggalkanku sebentar lagi.
entah mengapa aku jadi berpikir seperti itu. tidak kutanyakan kepada telingaku. tapi terpikir olehku, jangan jangan kedua tangan, juga kakiku, diam diam akan meninggalkanku juga.
aku berpikir kalau mereka pergi semua, aku ini akhirnya jadi apa. tidak kukatakan, lagi lagi aku diam. kupandangi kaki dan tanganku. tapi aku tak mampu memandangi mereka. hanya gelap di depanku. mataku belum kembali dari perjalanannya.
jadi aku harus menunggu. aku pun menunggu. lama aku menunggu. mataku belum juga kembali. daun telingaku akhirnya tidak mendengar apa apa lagi. kami tidak pernah lagi mendengar kabar dari mataku, yang kini entah di mana.
2. telinga
saat yakin mataku tak lagi kembali, aku hanya bisa pasrah dan kukenang kata-kataku sendiri, yang kuperah dari bahasa yang setia menemaniku. kita harus berbahagia dengan apa saja, termasuk, berbahagia hidup tanpa mata. mereka setuju denganku dan malah ikut membantu meyakinkan telingaku agar jadi mataku. jadilah matanya yang permanen, kudengar kata bahasa-bahasa itu. telingaku mengerti dan ia riang juga kini di mataku.
bulan ke tiga sejak aku kehilangan mata, telingaku benar-benar telah menjadi mataku. diikatnya dirinya seolah daun yang terikat dengan rantingnya. aku harus kuat di matamu ini, katanya. aku tersenyum dan diam saja saat telingaku tumbuh di liang mataku. tumbuhlah kataku di mataku ini. sesekali aku masih teringat dengan mataku, yang telah pergi tanpa kabar. kamu di mana, kataku saat aku teringat lagi padanya. apakah mataku mendengar perkataanku? dia jelas melihatku, mungkin dalam bayangannya yang jauh.
dia di mana sebenarnya?
kepergiannya begitu saja, keluar dari liang mataku, melihat-lihat, lalu tak kembali lagi. kalaulah ia telinga pasti mendengar kata-kataku ini. sayang ia mata. mata tak bisa mendengar, bukan? tapi telinga bisa mendengar. sejenak rasa sedih naik ke hatiku. andai aku kemarin meminta telinga yang pergi bukan mata, pastilah aku bisa memanggil kembali telingaku.
tapi sudahlah kataku, dan sudahlah ini lagi lagi kuperah dari dalam bahasa. bahasa telah mengajari aku segalanya. kamu baik kepadaku, dan mereka tersenyum. salah seorang terkikik dan berkata geli: iya, katanya lalu hihi, kami memang baik kepadamu. tapi kamu juga baik kepadaku. kudengar nada musik dari dialog itu. aku tersenyum dan kini mulai kembali ke mataku lagi.
saat aku memandang ke kaca, aku ingin sekali melihat mataku sendiri. tampakkanlah dirimu kataku. kata mataku, aku ingin sekali menampakkan diriku kepadamu. tapi sayang aku tidak bisa. kau dengar bukan aku tidak mau tapi tidak bisa. kau pasti mendengarku, seperti aku selalu mendengarmu.
aku diam saja, duduk terpekur di depan kaca. kuraba kaca itu dan kusentuh dengan kedua mataku. terasa bunyi yang halus keluar dari balik kaca. apakah mataku menitikkan air mata? jangan kataku, jangan menangis, jangan pernah menangis. kita masih hidup seperti orang lain, masih memiliki mata seperti orang lain.
ya tapi aku telinga bukan matamu, itu yang kudengar. aku juga ingin memandang-mandang. kadang capek juga hanya mendengar. ah kataku, kukira lebih letih diriku daripada dirimu itu. tapi tidak kukatakan. kubelai mataku dengan cara menggosok-gosokkannya ke kaca yang seukuran tubuhku. andai kaca ini berubah jadi mataku, alangkah senangnya aku kini. tapi ia tetap kaca, yang memuat diriku persis ke dalamnya.
kita pernah suatu hari memandang tubuh sendiri, yang lengkap dari balik kaca. tapi kini kita tidak bisa lagi memandang tubuh sendiri, yang masih lengkap dari balik kaca yang sama. andai kaca itu bergerak jadi bola mataku, pastilah mataku kini senang kembali ke daunnya lagi. jadi telingaku lagi. apa apa itu harus duduk di tempatnya. lagi lagi tak kukatakan, kupikirkan saja dalam hatiku.
3. malam
siang telah bergerak ke sore. sebentar lagi malam dan kita akan tambah gelap, telingaku, kataku di depan kaca tempat tubuhku ada di dalamnnya. iya sebentar lagi malam dan tubuh kita akan tenggelam. kudengarkan baik baik telingaku. kamu seperti seniman saja, dan yang ini aku katakan kepadanya. dia tertawa. aku seniman ya katanya. kalau aku seniman kamu itu apa, katanya menggodaku.
tubuh kami tenggelam dalam malam. gelap sempurna dan aku harus menekan tombol lampu agar cahaya kembali menyala. tapi lalu kuurungkan. untuk apa lagi cahaya itu kataku. sama saja ada cahaya atau tanpa cahaya. hari hariku akan tetap begini: diam diam merindukan mataku kembali lagi.
seorang penjaga hilir mudik di depan kamarku. kemarin ia agak kasar, tapi setelah akhirnya tahu aku baru kehilangan mata, ia jadi baik. suaranya tidak lagi mengancam. baik. baik pula katanya di sore yang telah diambil oleh malam ini. hidupkanlah lampu katanya, walau kamu tidak bisa melihat. tapi kami bisa melihatmu. lumayan kan, daripada tidak terlihat sama sekali.
aku menghidupkan lampu bukan oleh anjurannya. lelaki paruh baya itu telah berjalan ke kamar-kamar lain. ia memang senang seperti itu: setiap menjelang malam, satu demi satu langkahnya, ia perjalankan. berhenti di kamar-kamar, melirik ke dalam. berbicara sebentar lalu bergerak lagi. berhenti lagi, berbicara lagi. lalu tersenyum di atas kakinya sendiri.
kadang kupikir ia bukan meronda kami tapi entahlah, mungkin ada kesenangannya berjalan-jalan seolah meronda para tahanan. untuk apa coba melirik-lirik ke dalam seperti itu, lalu berbicara tanpa arah. terutama mengenjit-ngenjit saat berhenti, di kakinya sendiri. (bersambung)
No comments:
Post a Comment